A. Pengerrtian
Ijtihad
Secara etimologi,
ijtihad di ambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat
(kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan) dalam
Al-Qur’an disebutkan:
Artinya :”....Dan mereka yang tidak
memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan. (Q.S. At-Taubah:79)
Ijtihad adalah masdar
dari fi’il madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadi
ijtihad pada wajan if-ta-a’-la berarti,” usaha iti lebih
sungguh-sungguh”.Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha
yang lebih kuat dna sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha
keras atau pengarahan daya upaya. Dengan
demikian ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh
ssesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak di
sebut ijtihad, melainkan daya nalar yang biasa. Secara etimologi, ijtihad
adalah pebegrahan segala kesanggupan seorang fiqih (pakar fiqih Islam) untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’(agama).[1]
B. Metode-Metode
Ijtihad
Terdapat beberapa
metode dalam ijtihad, diantaranya adalah sebagai berikut:
I.
ISTIHSAN
a. a. Pengertian
Istihsan
Dalam bahasa Arab istihsan diartikan dengan
menganggap sesuatu baik atau mengikuti sesuatu yang baik.
Istihsan menurut bahasa adlah mengangga baik
sesuatu. Menurut istilah ulama ushul adalah beralihnya pemikiran seorang
mujtahid dari tuntuna kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum
umum kepada pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.[2]
Secara harafiah
, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung hitung sesuatu
dan menganggapnya kebaikan (Kamus Llisan al-Arab)
Menurut istilah
ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:
1.
Menurut
Al-Ghazali dala kitabnya Al-Mustashfa juz 1: 137 “istihsan adalah semua hal yang
dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2.
Al-
Muafiq ibnu Quadamah Al-Hambali brkata: “ istihsan ialah suatu keadilan terhadap hukum dan
pandangangnya karena adanya dalil tertentu dari al-qur’an dan As-sunnah.
3.
Abu
Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, “istihsan adalah pengambilan
suatu kemaslahahan yang bersifat jus’I dalam menggapai dalil yang bersifat
global.”
4.
Menurut
Al-Hasan Al-Kurkhi Al- Hanafi, “istihsan ialah pebuatan adil terhadap suatu
permasalahan hukum dengan memandang hukum
yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat
yang membutuhkan keadilan .
5.
Sebagian
ulama yang lain mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum
yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia.[3]
Adapun definisi istihsan dikalangan para
ahli berbeda beda sesuai tinjauannya
masing masing dan kemampuannya . Di
antaranya al – Bazdawiy memberi definisi
al-istihsan sebagai berikut:
الاستحسان هوالعدول عن موجب قياس الى قياس اُقوىمنه اُوهوتخصيص قيا س بدليل
اقوىمنه
“istihsan
adalah meninggalkan keharusan meningglkan qiyas yang lebih kuat atau
men-takhshis qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari qiyas tadi”.
Al-Nasafiy
mendefinisikan al-istihsan sebagai berikut:
الا ستحسان هوالعدول عن قياس الى قياس اقوى منه اوهودليل يعارض القياس
الجلى
“istihsan
adalah meninggalkan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau istihsan
ialah dalil yang kuat yng berawanan dengan qiyas jalaliy.
Definisi
definisi tersebut adalah definisi dari ulama ulama madzhab Hanafiy. Sedangkan
ulama ulama dari madzhab maliki memberikan definisi sebagai berikut :
Ibn Arabiy
mendefinisikan istihsan dengan:
الاستحسان هوايثارترك مقتضى الدليل طريق الاستثناء والتر خيص
لمعارضةمايعارض به
فى بعد مقتضيا ته
“ istihsan
ialah meninggalkan ketetapan dalil dengan cara mengecualikan dan meringankan
karena ada pertentangan yang menentangnya didalam sebagian ketetapanny.”
Al-Syathibiy menyatakan:
لاستحسان عندناوعندالحنفية هوالعمل
باقوى بدليلين
“istihsan
ialah beramal dengan dalil yang lebih kuat diantara dua dalil.”
Ibn Rusyd menyatakan:
الا ستحسا هوطرح القياس الذى يؤى الى علوفى الحكم والمبالغة فيه الى حكم
اخرفى موضع يقتضى ان يستثنى من ذلك
“istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas yang membawa
kepada yang berlebih-lebihan melampau batas didalam hokum yang berpindah kepada
hokum lain yang merupakan pengecualian.
Dari
definisi diatas dapat diambil kesimpulan
:
1.
Dari
madzhab hanafiy dan hanbaliy, istihsan adalah berpindah dari suatu hukum kepada
hukum lainnya dalam sebagian kasus atau
meninggalkan suatu hukum karena adanya hukum yang lebih kuat atau mengkhususkan
sesuatu hukum yang umum dengan hukum yang khusus.
2.
Istihsan
adalah perpindahan ari suatu hukum yang ditetapkan oleh dalil syara’ dalam
suatu kasus tertentu kepada hukum lain,
karena adanya hukum syara’ yang mengharuskan perpindahan sesuai dengan jiwa
syari’at islam.[4]
B.
Pembagian
dan Bentuk-bentuk Istihsan
Ditinjau dari
segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qias , istihsan ada tiga
macam:
1.
Beralih
dari apa yang dituntut oleh qiyas zhahir (qiyas jail) kepada apa yang
dikehendaki leh qiyas khafi ,dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas
jail tetapi menggunakan qiyas khafi sebagai penggantinnya, karena itu yang
dianggap lebih baik.
2.
Beralih
dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian.
Contohnya orang yang sedang dalam masa
pengampunan dilarang melakukan transaksi dalam bentuk apapun,hal ini di kecalikan
a mewakafkan hartanya dalam rangka menyelamatkan hartanya.
3.
Beralih
dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
Contohnya adalah tidak diberlakukan
hukum tangan bagi pencuri yang sedang kelaparan, karena pencuriab tersebut
dilakukan untuk mempertahankan hidupnya.
Ditinjau dari segi sandaran untuk menempuh istihsan
oleh mujtahid, istihsan dibagi menjadi lima macam:
1.
Istihsan
al-qiyas, yaitu istihsan yang sandarannya qiyas khafi . yang menjadi dasar
disini adalah kemudahan dan menghilangkan kesempitan sesuai dengan surat
Al-Baqarah ayat 185:
(Arab)
Allah hendak (memberikan) keringanan bagimu dan tidaj hendak (memberikan
) keberatan atas kamu.
2.
Istihsan
al-nash yaitu istihsan yang sandarannya adalah Al-qur’an atau Hadist Nabi.
3.
Istihsan
al ijma’ yaitu istihsan yang sandarannya
ijma’
4.
Istihsan
al-‘urf yaitu istihsan yang sandarannya ‘urf atau adat yang berlaku.
5.
Istihsan
al-dharurah, yaitu istihsan yang sandarannya darurat.[5]
C.
Kehujjahan
Istihsan dan Pandangan Para Ulama
Dari definisi dan penjelasan kedua macam
istihsan, jelas bahwa pada hakikatnya istihsan bukan sumber hukum yang dapat
berdiri sendiri, karena dalil hukum dari bentuk ihtisan pertama adalah kias
yang tersembunyi yang diunggulkan dari pada kias yang nyata, sebaba hal-hal
tertentu yang oleh mujtahid dianggap lebih unggul,dan itu adalah alasan
ihtisan. Sedangkan dalil hukum yangdari bentuk ihtisan yang kedua kemaslahatan,
yang menuntut adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu
juga dianggap sebagai alasan istihsan.
Diantara orang-orang yang berhujjah
dengan istihsan adalah mayoritas dari golongan Hanafi. Mereka beralasan:
penganbilan dalail dengan istihsan adalah menganbil dalil dengan kias yang
samar yang mengalahkankias yang nyata, atau memenangkan kias atas kias lain
yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian
dari hikim umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar[6]
. Pandangan Para Ulama:
1.
Ulama
Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu
Hanafiah banyak sekali menggunakan istihsan . begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam kitab ushul yang
menyebutkan bahwa hanafiah mengakui adanya istihsan.
2.
Ulama
Malikiyah
Asy- Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang
kuat dalam hukum sebagaimana pendapat imam maliki dan imam Abu Hanifah.
3.
Ulama
Hanabilah
Dalam beberapa kitab ushul disebutkan bahwa golongan hanabilah mengakui
adanya istihsan , sebagai mana dikatakan oleh Imam Al-Amudi dan Ibnu Hazib.
4.
Ulama
Syafi’iyah
Golongan Al-Syafi’i tidak mengakui adanyan istihsan dan mereka benar
benar menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’I berkata “ Barang siapa yang
menggunakan istihsan berarti ia telah membuat Syari’at.” Beliau juga berkata.”
Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT, setidaknya ada yang menyerupai
sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak boleh menggunakan istihsan.[7]
D. Kedudukan
Istihsan Sebagai Dalil Syara’
Para ahli usul fiqih berbeda pendapat
dalam menggunakan istihsan sebagai dalil. Perbedaan ini disebabkan oleh berbeda
dalam melihat ihtisan itu sendiri, sebagaimana yang tergambar dalam definisi
yang dikemukakannya. Yang paling banyak menggunakan istihsan adalah ulama
Hanafiah. Kemudian diikuti oleh ulama Malikiyah menurut definisi kedua tersebut
dan juga diikuti oleh sebagian ulama Hambaliyah, namun menurut definisi ketiga
tersebut. Ulama Syafi’iyah menolaknya secara tegas dan menyebut orang yang
menggunakannya sebagai membuat-buat syariat.[8]
E. Alasan
Ulama yang tidak Berhujjah dengan Istihsan
Sebagai kelompok mujtahid mengingkari
kebenaran istihsan, mereka menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan
hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Di antara tokohnya adalah Imam Syafi’i,
seperti yang dinukil darinya : siapa yang menggunakan istihsan berarti ia
membuat syariat. Artinya orang itu membuat hukum syariat sendiri. Ditetapkan
dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan orang yang menetapkan hukum dengan
istihsan adalah seperti orang yang shalat menghadap kearah yang dianggapnya
baik itu adalah Ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang telah ditetapkan
syar’i dalam menentukan arah Ka’bah. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa
istihsan adalah berenak-enak, seandainya melakukan istihsan dalam agama itu
diperbolehkan, niscahya boleh juga dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscahya boleh menciptakan syariat dalam
agama disetiap permasalahan, serta setiap orang boleh membuat syari’at untuk
dirinya sendiri.
Yang jelas, kedua kelompok yang berbeda
pendapat tentang istihsan tidak sepakat dalam membatasi definisinya. Kelompok
yang setuju menghendaki istihsan itu berbeda dengan apa yang dikehendaki
kelompok yang tidak setuju. Seandainya mereka seapakat atas batasan dedinisinya
mereka tidak akan berbeda pendapat dalam kehujjahan istihsan. Karena istihsan,
kenyataannya perpindahan dari dalil yang jelas atau dari hukum yang umum karena
ada dalil yang menuntut ubtuk itu, tidak melulu membuat syariat seenaknya
sendiri. Semua hakim sering kali menyalahkan pemikirannya dalam banyak kejadian
karena hakikat kemaslahatan yang menuntut pidana dalam bagia hukum ini dari
hal-hal yang ditetapkan undang-undang. Dalam hal itu tidak lain kecuali salah
satu bentuk istihsan.[9]
II.
Al-MASLAHAH AL-MURSALAH
A. Pengertian
Al Maslahah Al Mursalah
Maslahah mursalah disebut juga Maslahah muthalaqah, karena
tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau pembatalan. Adapun didalam ahli ushul ialah:
تشريع الحكم فى واقعة لانص فيها والاجتماع
على مراعات مصلحة مرسلة اى مطلقة بمعنى انها مصلحة لم يردمن الشارع د ليل اعتبارها
والغاؤها
“memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat didalam
nash dan ijma atas dasar memelihara kemaslahatan yang terlepas yaiyu
kemaslahatan yang tidak ditegaskan olehn syara’ dan tidak pula ditolak.
Prof. T. M Hasbi Ash-shiddieqy maslahah mursalah ialah
“memelihara maksud syara’ dengan jalan menolak segala jalan yang merusak
makhluk.
Hanafiy,
M.A., mendefinisikan maslahah mursalah ialah “ kebaikan yang tidak disinggung
singgung syara’ untuk mengerjakan atau meninggalkan sedangkan kalau dikerjakan
akan membawa manfaat dan menghindarkan mudharat.
Dalam hal
ini dapat disimpulkan bahwa maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap
suatu kasus atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan
oleh nash, sedangkan apbila dikerjakan, jelas akan membawa kemaslahatan yang
bersifat umum dan apabila ditinggalkan akan mengakibatkan kemafsadatan yang
bersifat umum pula.[10]
Sedangkan
Al-Ghazali menyatakan maslahah mursalah adalah suatu metode istidlal (mencari)
dalil dari nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap dalil nash
syara’ tetapi ia tidak keluar dari nash syara.
Asy-
Syatibi seorang madzhab maliki mengatakan bahwa maslahah al mursalah adalah
setiap prinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai
dengan tindakan syara’ serya makanya diambil dari dalil dalil syara’.
Maslahah mursalah menurut ushul fiqh ialah:
الصا الملائمة لمقا صدالشارع الاسلامي ولايشهد لها اصل خاص با لا عتبار او
الالغاء
“ Kemaslahatan yang searah
dengan tujuan syari’at islami, namun tidak ada petunjuk khusus yang
mengakuinnya atau menolaknya.”
Setiap hukum yang ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an
begitu pula yang ditetapkan nabi dalam sunnahnya mengandung unsure maslahat
dalam tinjauan akal,baik dalam bentuk mendatangkan manfaat atau kebaikan yang
diperolehnyanoleh manusia maupun menghindarkan kerusakan dari manusia.
B.
Dasar
Hukum Maslahah Mursalah
Berdasarkan
penelitian para ulama jelas bahwa syariah islamiyah mengandung kemaslahatan
bagi manusia didalam mengatur hidup dan
kehidupannya didunia ini hal ini ditegaskan dalam al-qur’an:
وما ارسلناك الارحمة للعالمين
“Kami tidak mengutusmu ( Muhammad) melainkan sebagai (
Pembawa) rahmat bagi sekalian alam” ( QS. Al-Anbiya: 107)
ياايها الناس قد جائكم موعظة من ربكم
وشفاءلمافى الصدوروهدىورحمة للمؤمنين
“Hai manusia sesungguhnya telah dating kepadamu nasehat dari Tuhan kamu
dan penawar bagi (penyakit) yang ada
pada dada dada (kamu) dan (telah datang)
petunjuk dan rahmat bagi orang orang mukmin”.(QS. Yunus: 57)
يسالونك عن اليتامى قل اصلاح لهم خيروان
تحالطوهم فا خوانكم والله يعلم المفسد من المصلح
Mereka
bertanya kepadamu ( hai Muhammad) tentang anak anak yatim. Katakanlah: berbuat
kebaikan kepada mereka adalah lebih baik, dan jika kamu bercampur (urusan)
dengan mereka, maka mereka mereka itu saudaramu. Dan Allah mengetahui orang
yang berbuat jahat ( mafsadat) dari pada orang yang berbuat baik (maslahah) (QS.
Al-baqarah: 220)[11]
C.
Bentuk
Bentuk Maslahah Mursalah
Berbicara
tentang kemaslahatan maka maslahah mursalah
ada tiga bentuk kemaslahatan:
1.
Kemaslahatan
yang ditegaskan dalam Al-Qur’an atau As-sunnah . kemaslahatn semacam ini diakui
oleh para ulama untuk dijadikan petunjuk dalam menetapkan hukum. Maslahah
seperti ini disebut al maslahah al mu’tabarah.
2.
Sesuatu
yang maslahat menurut akal, namun ada petunjuk khusus dalam nash atau ijma yang
menolaknya. Maslahat dalam bentuk ini disebut al-maslahat al-mulghah. Ulama
telah sepakat untuk menolaknya menjadi dalil syara’.
3.
Sesuatu
yang maslahaht menurut pertimbangan akal, tetapi tidak ada nash secara khusus
yang membenarkannya dan tidak ada
petunjuk khusus yang menolaknya. Maslahah dalam bentuk ini disebut al maslahah
al mursalah.[12]
D.
Syarat-syarat
dalam Menerima Maslahah Mursalah
1.
Maslahah
mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum dan dapat diterima
oleh akal yang sehat.
2.
Yang
dinilai akal sehat sebagai maslahah mursalah itu betul betul sejalan dengan
tujuan Allah SWT dalam menentapkan hukum.
3.
Yang
dinilai akal sehat dalam maslahah yang sejalan dengan tujuan Allah SWT dalam
menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan nash yang telah ada.
4.
Maslahah
mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan dalam arti kalau tidak
titempuh akan mendatangkan kesulitan dalam kehidupan.[13]
E. Pengertian
dan Peristilahan Maslahah
Mursalah
Setiap hukum yang didirikan atas dasar Maslahat dapat ditinjau dari
tiga segi yaitu:
a. Melihat
mashlahah yang terdapat dlam kasus yang dipersoalkan. Misalnya pembuatan akta
nikah di masa sekarang.
b. Melihat
sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ yang mengharuskan adanya suatu ketentuan
hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.
c. Melihat
proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditinjukan oleh dalil
khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal ini diakui sah
oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses ini disebut istihsan (menggali dna menetapkan suatu masalah).[14]
F. Alasan
ulama yang menjadikan sebagai hujjah
Jumhur
ulama kaum muslimin berpendapat bahwa Maslahah Al Mursalah adalah hujjah yang syara’ yang
dipakai landasan penetapan hukum. Kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash,
ijmak, kias atau istihsan, maka ditetapkan hukum yang dituntut oleh
kemaslahatan umum. Dan penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak tergantung
pada adanya saksi syara’ dengan anggapannya.
Alsan
merekadalam hal ini ada dua:
Pertama:
Kemaslahatan umat manusia itu selalu
baru dan tidak ada habisnya. Maka seandainya hukum tidak ditetapkan sesuai
dengan kemaslahatan manusia yang baru, sesuai dengan perkembangan mereka dan
penetapan hukum itu hanya berdasarkan hukum syar’i saja, maka banyak
kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi
pembentukan hukum seperti itu tidak memperhatikan perkembangan dan kemaslahatan
manusia.
Kedua:
Orang yang mau meneliti penetapan hukum yang dilakukan para sahabat Nabi,
tabi’in dan imam-imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka
tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum, bukan karena ada saksi dianggap
oleh syar’i.[15]
G. Pendapat
yang Menolak Maslahah Mursalah.
Dengan alasan sebagai berikut:
1. Kemaslahatan
yang tidak ada syahidnya yang berupa dalil khusus adalah yang semacam mencari
kenikmatan dengan mengikuti hawa nafsu.
2. Kita
tidak dapat menyebut ada kemaslahatan padahal tidak terdapat didalam nash dan
tidak pula dihasilkan dengan qiyas sedangkan syari’ah Islam telah sempurna.
3. Maslahah
mursalah adalah kemaslahatan yang terlepas dari dalil, karena tidak ada dalil
untuk itu tapi juga tidak ada dalil yang melarangnya.
4. Apabila
mengambil maslahah mursalah pasti akan berbeda hukum dengan berbedanya
negarabahkan akan berbeda hukum dengan berbedabya individu-individu didalam
satu masalah yang sama, sehingga didalam suatu negara suatu masalah haram dan
bagi negara lain halal.[16]
III.
ISTISHAB
A.
Pengertian
Istishab
Secara
etimologis istishab adalah “ membawa serta bersama sama atau terus bersama
sama.
Istishab secara harafiah adalah mengakui adanya hubungan perkawina. ” Sedangkan
menurut ulama ushul adalah menetapkan
sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil dalil yang menunjukkan
perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan dimasa lampau
secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan
perubahannya. [17]
Para ahli ushul juga mendefinisikan istishab dengan:
ثبوت امرفى الثاني لثبوته فى الاول لفقدان مايصلح للتغيير
“berlakunya sesuatu pada waktu kedua yang
demikian pernah berlaku pada waktu pertama selama tidak ada yang patut untuk
mengubahnya[18].
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid
ditanya tentang hukum kontrak atau sesuatu pengelolaan yang tidak ditemukan dalil
syara’ yang tidak mengitlakkan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh.
Berdasarkan kaidah:
ا
لا صل فى ا لا شيا ء ا لا با حة.
Artinya:
“ pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”[19]
Asy
Syaukaniy menta’rifkan istishab dengan: “ Tetapnya Sesuatu hukum selama tidak
ada yang mengubahnya”. 11
Al-Khawarizmy
berpendapat tentang istishab seperti
yang ditulis Asy Syaukaniy dalam kitabnya irsyad al-fukhul:
“istishab
itu merupakan pembicaraan terakhir tentang fatwa, seoarang mufti apabila
ditanya tentang sesuatu kasus dia harus mencari hukumnya dalam kitabbullah,
kemudian dalam sunnah, kemudian dalam ijma’ kemudian menggunakan qiyas. Apabila
tidak mendapatkan hukumnya dengan cara-cara tadi, maka mencari hukumnya dengan
istishab baik didalam adanya hukum maupun didalam ketiadaan hukum. Apabila
ragu-ragu di dalam adanya hukum, maka yng asal tidak ada hukum”.
Ulama
hanafiah menetapkan istishab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan
untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud mereka. Istishab merupakan ketetapan
sesuatu, yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu
yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan perbedaannya.[20]
B.
Macam
Macam Istishab
1.
Istishab
al-bar’at al-Ashliyyah
Menurut ibn al-Qayyim seperti
terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan
taklifnya.
2.
Istishab
yang ditunjukan oleh para syara atau akal seperti orang harus tetap bertanggung
jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah melunasinya.
3.
Istishab
hukum seperti sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka
hukum itu terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkannya yang asalnya
mubah atau membolehkan yang asalnya haram.
4.
Istishab
Washaf. Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang
hilang.[21]
C.
Kedudukan
Istishab sebagai Dalil Hukum Syara’
Pada
umumnya ulama ushul fiqh menempatkan istishab sebagai dalil hukum, kecuali
dalam beberapa bentuk istishab. Istishab dalil akal hanya diakui oleh ulama
Mu’tazillah, dalam hal istishab sifat ulama hanafiah hanya memberlakukannya
untuk mempertahankan hukum yang ada dan menolaknya untuk menetapkan hukum baru.
Sementara sebagian ulama tidak memberlakukan istishab dalil umum. Ulama yang
mengamalkan istishab mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadis Nabi dan
menambahknya dengan sebuah kaidah fiqh.[22]
D.
Kehujjahan
Istishab
Istishab
adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid
untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinnya. Ulama ushul berkata
sesungguhnya istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa “ yaitu mengetahui
sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil
yang mengubahnya.[23]
Dari
keterangan singkat tentang istishab ini jelas bahwa:
1.
Istishab
pada dzatnya bukan dalil fiqh dan bukan sumber istinbat akan tetapi menerapkan
dalil yang telah ada dan menetapkan hukum terus berlaku sebelum ada yang merubahnya.
2.
Sesuatu
yang ditetapkan dengan meyakinkan tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara
yang meyakinkan.
3.
Istishab
digunakan apabila tidak ada dalil oleh karena itu ulama-ulama yang
menyedikitkan turuqul istinbat mereka meluaskan istishab ini seperti ulama
ulama yang menolak qiyas.[24]
E.
Pendapat Ulama tentang Istishhab
Ulama Hanafiah menetapkan bahwa
istishhab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan
apa-apa yang dimaksudkan oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa
istishhab merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula dan
juga mempertahankan sesuatu yang berbeda samapai ada dalil yang menetapkan atas
perbedaanya.
Istishhab bukanlah hujjah untuk
menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang
yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya.
Bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang
hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.
Istishhablah yang menunjukkan atas
hidupnya orang tersebut dan menolak dugaan kematiannya serta warisan harta
bendanya perceraian pernikahannya. Tetapi itu bukanlah hujjah untuk menetapkan
pewarisan dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishhab itu adalah
hidup yang didasarkan pengakuan.[25]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar