Jumat, 08 Mei 2015

Ushul Fiqih



A.       Pengerrtian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad di ambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan) dalam Al-Qur’an disebutkan:
Artinya :”....Dan mereka yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan. (Q.S. At-Taubah:79)
Ijtihad adalah masdar dari fi’il madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadi ijtihad pada wajan if-ta-a’-la berarti,” usaha iti lebih sungguh-sungguh”.Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha yang lebih kuat dna sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengarahan daya upaya.  Dengan demikian ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh ssesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan  tidak maksimal dan tidak  menggunakan daya upaya yang keras tidak di sebut ijtihad, melainkan daya nalar yang biasa. Secara etimologi, ijtihad adalah pebegrahan segala kesanggupan seorang fiqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’(agama).[1]

B.     Metode-Metode Ijtihad
Terdapat beberapa metode dalam ijtihad, diantaranya adalah sebagai berikut:
I.                   ISTIHSAN
a. a.  Pengertian Istihsan
Dalam bahasa Arab istihsan diartikan dengan menganggap sesuatu baik atau mengikuti sesuatu yang baik.
Istihsan menurut bahasa adlah mengangga baik sesuatu. Menurut istilah ulama ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntuna kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.[2]
Secara harafiah , istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan (Kamus Llisan al-Arab)
Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Al-Ghazali dala kitabnya Al-Mustashfa juz 1: 137 “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2.      Al- Muafiq ibnu Quadamah Al-Hambali brkata: “ istihsan ialah  suatu keadilan terhadap hukum dan pandangangnya karena adanya dalil tertentu dari al-qur’an dan As-sunnah.
3.      Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, “istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahahan yang bersifat jus’I dalam menggapai dalil yang bersifat global.”
4.      Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al- Hanafi, “istihsan ialah pebuatan adil terhadap suatu permasalahan  hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat  yang membutuhkan keadilan  .
5.      Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia.[3]
 Adapun definisi istihsan dikalangan para ahli  berbeda beda sesuai tinjauannya masing masing  dan kemampuannya . Di antaranya al – Bazdawiy memberi  definisi al-istihsan sebagai berikut:
الاستحسان هوالعدول عن موجب قياس الى قياس اُقوىمنه اُوهوتخصيص قيا س بدليل اقوىمنه

     “istihsan adalah meninggalkan keharusan meningglkan qiyas yang lebih kuat atau men-takhshis qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari qiyas tadi”.

    Al-Nasafiy mendefinisikan al-istihsan sebagai berikut:

الا ستحسان هوالعدول عن قياس الى قياس اقوى منه اوهودليل يعارض القياس الجلى
 
  “istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau istihsan ialah dalil yang kuat yng berawanan dengan qiyas jalaliy.

    Definisi definisi tersebut adalah definisi dari ulama ulama madzhab Hanafiy. Sedangkan ulama ulama dari madzhab maliki memberikan definisi sebagai berikut :

      Ibn Arabiy mendefinisikan istihsan dengan:
الاستحسان هوايثارترك مقتضى الدليل طريق الاستثناء والتر خيص لمعارضةمايعارض به
فى بعد مقتضيا ته

     “ istihsan ialah meninggalkan ketetapan dalil dengan cara mengecualikan dan meringankan karena ada pertentangan yang menentangnya didalam sebagian ketetapanny.”

      Al-Syathibiy menyatakan:
 لاستحسان عندناوعندالحنفية هوالعمل
باقوى بدليلين

     “istihsan ialah beramal dengan dalil yang lebih kuat diantara dua dalil.”

Ibn Rusyd menyatakan:

الا ستحسا هوطرح القياس الذى يؤى الى علوفى الحكم والمبالغة فيه الى حكم اخرفى موضع يقتضى ان يستثنى من ذلك
    
“istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas yang membawa kepada yang berlebih-lebihan melampau batas didalam hokum yang berpindah kepada hokum lain yang merupakan pengecualian.

     Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan  :
1.      Dari madzhab hanafiy dan hanbaliy, istihsan adalah berpindah dari suatu hukum kepada hukum lainnya dalam sebagian kasus  atau meninggalkan suatu hukum karena adanya hukum yang lebih kuat atau mengkhususkan sesuatu hukum yang umum dengan hukum yang khusus.
2.      Istihsan adalah perpindahan ari suatu hukum yang ditetapkan oleh dalil syara’ dalam suatu kasus tertentu  kepada hukum lain, karena adanya hukum syara’ yang mengharuskan perpindahan sesuai dengan jiwa syari’at islam.[4]

B.     Pembagian dan Bentuk-bentuk Istihsan
Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qias , istihsan ada tiga macam:
1.      Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas zhahir (qiyas jail) kepada apa yang dikehendaki leh qiyas khafi ,dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas jail tetapi menggunakan qiyas khafi sebagai penggantinnya, karena itu yang dianggap lebih baik.

2.      Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian. Contohnya  orang yang sedang dalam masa pengampunan dilarang melakukan transaksi dalam bentuk apapun,hal ini di kecalikan a mewakafkan hartanya dalam rangka menyelamatkan hartanya.


3.      Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Contohnya adalah  tidak diberlakukan hukum tangan bagi pencuri yang sedang kelaparan, karena pencuriab tersebut dilakukan untuk mempertahankan hidupnya.


Ditinjau dari segi sandaran untuk menempuh istihsan oleh mujtahid, istihsan dibagi menjadi lima macam:
1.      Istihsan al-qiyas, yaitu istihsan yang sandarannya qiyas khafi . yang menjadi dasar disini adalah kemudahan dan menghilangkan kesempitan sesuai dengan surat Al-Baqarah ayat 185:
(Arab)
Allah hendak (memberikan) keringanan bagimu dan tidaj hendak (memberikan ) keberatan atas kamu.
2.      Istihsan al-nash yaitu istihsan yang sandarannya adalah Al-qur’an  atau Hadist Nabi.
3.      Istihsan al ijma’  yaitu istihsan yang sandarannya ijma’
4.      Istihsan al-‘urf yaitu istihsan yang sandarannya ‘urf atau adat yang berlaku.
5.      Istihsan al-dharurah, yaitu istihsan yang sandarannya darurat.[5]

C.    Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama

Dari definisi dan penjelasan kedua macam istihsan, jelas bahwa pada hakikatnya istihsan bukan sumber hukum yang dapat berdiri sendiri, karena dalil hukum dari bentuk ihtisan pertama adalah kias yang tersembunyi yang diunggulkan dari pada kias yang nyata, sebaba hal-hal tertentu yang oleh mujtahid dianggap lebih unggul,dan itu adalah alasan ihtisan. Sedangkan dalil hukum yangdari bentuk ihtisan yang kedua kemaslahatan, yang menuntut adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu juga dianggap sebagai alasan istihsan.
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas dari golongan Hanafi. Mereka beralasan: penganbilan dalail dengan istihsan adalah menganbil dalil dengan kias yang samar yang mengalahkankias yang nyata, atau memenangkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hikim umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar[6]

. Pandangan Para Ulama:

1.      Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanafiah banyak sekali menggunakan istihsan . begitu pula dalam keterangan  yang ditulis dalam kitab ushul yang menyebutkan bahwa hanafiah mengakui adanya istihsan.
2.      Ulama Malikiyah
Asy- Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat imam maliki dan imam Abu Hanifah.
3.      Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab ushul disebutkan bahwa golongan hanabilah mengakui adanya istihsan , sebagai mana dikatakan oleh Imam Al-Amudi dan Ibnu Hazib.
4.      Ulama Syafi’iyah
Golongan Al-Syafi’i tidak mengakui adanyan istihsan dan mereka benar benar menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’I berkata “ Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat Syari’at.” Beliau juga berkata.” Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT, setidaknya ada yang menyerupai sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak boleh menggunakan istihsan.[7]

D.    Kedudukan Istihsan Sebagai Dalil Syara’
Para ahli usul fiqih berbeda pendapat dalam menggunakan istihsan sebagai dalil. Perbedaan ini disebabkan oleh berbeda dalam melihat ihtisan itu sendiri, sebagaimana yang tergambar dalam definisi yang dikemukakannya. Yang paling banyak menggunakan istihsan adalah ulama Hanafiah. Kemudian diikuti oleh ulama Malikiyah menurut definisi kedua tersebut dan juga diikuti oleh sebagian ulama Hambaliyah, namun menurut definisi ketiga tersebut. Ulama Syafi’iyah menolaknya secara tegas dan menyebut orang yang menggunakannya sebagai membuat-buat syariat.[8]

E.     Alasan Ulama yang tidak Berhujjah dengan Istihsan
Sebagai kelompok mujtahid mengingkari kebenaran istihsan, mereka menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Di antara tokohnya adalah Imam Syafi’i, seperti yang dinukil darinya : siapa yang menggunakan istihsan berarti ia membuat syariat. Artinya orang itu membuat hukum syariat sendiri. Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan orang yang menetapkan hukum dengan istihsan adalah seperti orang yang shalat menghadap kearah yang dianggapnya baik itu adalah Ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang telah ditetapkan syar’i dalam menentukan arah Ka’bah. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa istihsan adalah berenak-enak, seandainya melakukan istihsan dalam agama itu diperbolehkan, niscahya boleh juga dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscahya boleh menciptakan syariat dalam agama disetiap permasalahan, serta setiap orang boleh membuat syari’at untuk dirinya sendiri.
Yang jelas, kedua kelompok yang berbeda pendapat tentang istihsan tidak sepakat dalam membatasi definisinya. Kelompok yang setuju menghendaki istihsan itu berbeda dengan apa yang dikehendaki kelompok yang tidak setuju. Seandainya mereka seapakat atas batasan dedinisinya mereka tidak akan berbeda pendapat dalam kehujjahan istihsan. Karena istihsan, kenyataannya perpindahan dari dalil yang jelas atau dari hukum yang umum karena ada dalil yang menuntut ubtuk itu, tidak melulu membuat syariat seenaknya sendiri. Semua hakim sering kali menyalahkan pemikirannya dalam banyak kejadian karena hakikat kemaslahatan yang menuntut pidana dalam bagia hukum ini dari hal-hal yang ditetapkan undang-undang. Dalam hal itu tidak lain kecuali salah satu bentuk istihsan.[9]



II.                 Al-MASLAHAH AL-MURSALAH
A.    Pengertian Al Maslahah Al Mursalah
Maslahah mursalah  disebut juga Maslahah muthalaqah, karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau pembatalan. Adapun didalam ahli ushul ialah:

تشريع الحكم فى واقعة لانص فيها والاجتماع على مراعات مصلحة مرسلة اى مطلقة بمعنى انها مصلحة لم يردمن الشارع د ليل اعتبارها والغاؤها

“memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat didalam nash dan ijma atas dasar memelihara kemaslahatan yang terlepas yaiyu kemaslahatan yang tidak ditegaskan olehn syara’ dan tidak pula ditolak.

Prof. T. M Hasbi Ash-shiddieqy maslahah mursalah ialah “memelihara maksud syara’ dengan jalan menolak segala jalan yang merusak makhluk.
Hanafiy, M.A., mendefinisikan maslahah mursalah ialah “ kebaikan yang tidak disinggung singgung syara’ untuk mengerjakan atau meninggalkan sedangkan kalau dikerjakan akan membawa manfaat dan menghindarkan mudharat.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu kasus atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, sedangkan apbila dikerjakan, jelas akan membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan akan mengakibatkan kemafsadatan yang bersifat umum pula.[10]
Sedangkan Al-Ghazali menyatakan maslahah mursalah adalah suatu metode istidlal (mencari) dalil dari nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap dalil nash syara’ tetapi ia tidak keluar dari nash syara.
Asy- Syatibi seorang madzhab maliki mengatakan bahwa maslahah al mursalah adalah setiap prinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serya makanya diambil dari dalil dalil syara’.
Maslahah mursalah  menurut ushul fiqh ialah:
الصا الملائمة لمقا صدالشارع الاسلامي ولايشهد لها اصل خاص با لا عتبار او الالغاء


“ Kemaslahatan yang searah dengan tujuan syari’at islami, namun tidak ada petunjuk khusus yang mengakuinnya atau menolaknya.”
            Setiap hukum yang ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an begitu pula yang ditetapkan nabi dalam sunnahnya mengandung unsure maslahat dalam tinjauan akal,baik dalam bentuk mendatangkan manfaat atau kebaikan yang diperolehnyanoleh manusia maupun menghindarkan kerusakan dari manusia.

B.     Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Berdasarkan penelitian para ulama jelas bahwa syariah islamiyah mengandung kemaslahatan bagi manusia didalam mengatur hidup  dan kehidupannya didunia ini hal ini ditegaskan dalam  al-qur’an:
وما ارسلناك الارحمة للعالمين

Kami tidak mengutusmu ( Muhammad) melainkan sebagai ( Pembawa) rahmat bagi sekalian alam ( QS. Al-Anbiya: 107)

ياايها الناس قد جائكم موعظة من ربكم وشفاءلمافى الصدوروهدىورحمة للمؤمنين

“Hai manusia sesungguhnya telah dating kepadamu nasehat dari Tuhan kamu dan penawar bagi (penyakit)  yang ada pada dada dada (kamu)  dan (telah datang) petunjuk dan rahmat bagi orang orang mukmin”.(QS. Yunus: 57)

يسالونك عن اليتامى قل اصلاح لهم خيروان تحالطوهم فا خوانكم والله يعلم المفسد من المصلح

Mereka bertanya kepadamu ( hai Muhammad) tentang anak anak yatim. Katakanlah: berbuat kebaikan kepada mereka adalah lebih baik, dan jika kamu bercampur (urusan) dengan mereka, maka mereka mereka itu saudaramu. Dan Allah mengetahui orang yang berbuat jahat ( mafsadat) dari pada orang yang berbuat baik (maslahah) (QS. Al-baqarah: 220)[11]

C.    Bentuk Bentuk Maslahah Mursalah
Berbicara tentang kemaslahatan maka maslahah mursalah  ada tiga bentuk kemaslahatan:
1.      Kemaslahatan yang ditegaskan dalam Al-Qur’an atau As-sunnah . kemaslahatn semacam ini diakui oleh para ulama untuk dijadikan petunjuk dalam menetapkan hukum. Maslahah seperti ini disebut al maslahah al mu’tabarah.
2.      Sesuatu yang maslahat menurut akal, namun ada petunjuk khusus dalam nash atau ijma yang menolaknya. Maslahat dalam bentuk ini disebut al-maslahat al-mulghah. Ulama telah sepakat untuk menolaknya menjadi dalil syara’.
3.      Sesuatu yang maslahaht menurut pertimbangan akal, tetapi tidak ada nash secara khusus yang membenarkannya  dan tidak ada petunjuk khusus yang menolaknya. Maslahah dalam bentuk ini disebut al maslahah al mursalah.[12]

D.    Syarat-syarat dalam Menerima Maslahah Mursalah
1.      Maslahah mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum dan dapat diterima oleh akal yang sehat.
2.      Yang dinilai akal sehat sebagai maslahah mursalah itu betul betul sejalan dengan tujuan Allah SWT dalam menentapkan hukum.
3.      Yang dinilai akal sehat dalam maslahah yang sejalan dengan tujuan Allah SWT dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan nash yang telah ada.
4.      Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan dalam arti kalau tidak titempuh akan mendatangkan kesulitan dalam kehidupan.[13]

E.     Pengertian dan Peristilahan Maslahah Mursalah
Setiap hukum yang didirikan atas dasar Maslahat dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
a.       Melihat mashlahah yang terdapat dlam kasus yang dipersoalkan. Misalnya pembuatan akta nikah di masa sekarang.
b.      Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.
c.       Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditinjukan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal ini diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses ini disebut istihsan  (menggali dna menetapkan suatu masalah).[14]

F.     Alasan ulama yang menjadikan sebagai hujjah
Jumhur ulama kaum muslimin berpendapat bahwa Maslahah Al Mursalah adalah hujjah yang syara’ yang dipakai landasan penetapan hukum. Kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash, ijmak, kias atau istihsan, maka ditetapkan hukum yang dituntut oleh kemaslahatan umum. Dan penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak tergantung pada adanya saksi syara’ dengan anggapannya.
Alsan merekadalam hal ini ada dua:
Pertama: Kemaslahatan umat manusia  itu selalu baru dan tidak ada habisnya. Maka seandainya hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru, sesuai dengan perkembangan mereka dan penetapan hukum itu hanya berdasarkan hukum syar’i saja, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi pembentukan hukum seperti itu tidak memperhatikan perkembangan dan kemaslahatan manusia.
Kedua: Orang yang mau meneliti penetapan hukum yang dilakukan para sahabat Nabi, tabi’in dan imam-imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum, bukan karena ada saksi dianggap oleh syar’i.[15]

G.    Pendapat yang Menolak Maslahah Mursalah.
Dengan alasan sebagai berikut:
1.      Kemaslahatan yang tidak ada syahidnya yang berupa dalil khusus adalah yang semacam mencari kenikmatan dengan mengikuti hawa nafsu.
2.      Kita tidak dapat menyebut ada kemaslahatan padahal tidak terdapat didalam nash dan tidak pula dihasilkan dengan qiyas sedangkan syari’ah Islam telah sempurna.
3.      Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang terlepas dari dalil, karena tidak ada dalil untuk itu tapi juga tidak ada dalil yang melarangnya.
4.      Apabila mengambil maslahah mursalah pasti akan berbeda hukum dengan berbedanya negarabahkan akan berbeda hukum dengan berbedabya individu-individu didalam satu masalah yang sama, sehingga didalam suatu negara suatu masalah haram dan bagi negara lain halal.[16]



III.             ISTISHAB
A.    Pengertian Istishab
Secara etimologis istishab adalah “ membawa serta bersama sama atau terus bersama sama. Istishab secara harafiah adalah mengakui adanya hubungan perkawina. ” Sedangkan menurut ulama ushul  adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan dimasa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan perubahannya. [17]
Para ahli ushul juga mendefinisikan istishab dengan:
ثبوت امرفى الثاني لثبوته فى الاول لفقدان مايصلح للتغيير

 “berlakunya sesuatu pada waktu kedua yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama selama tidak ada yang patut untuk mengubahnya[18].
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau sesuatu pengelolaan yang tidak ditemukan dalil syara’ yang tidak mengitlakkan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh. Berdasarkan kaidah:
ا لا صل فى ا لا شيا ء ا لا با حة.
Artinya: “ pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”[19]
Asy Syaukaniy menta’rifkan istishab dengan: “ Tetapnya Sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya”. 11
Al-Khawarizmy berpendapat tentang istishab seperti  yang ditulis Asy Syaukaniy dalam kitabnya irsyad al-fukhul:
“istishab itu merupakan pembicaraan terakhir tentang fatwa, seoarang mufti apabila ditanya tentang sesuatu kasus dia harus mencari hukumnya dalam kitabbullah, kemudian dalam sunnah, kemudian dalam ijma’ kemudian menggunakan qiyas. Apabila tidak mendapatkan hukumnya dengan cara-cara tadi, maka mencari hukumnya dengan istishab baik didalam adanya hukum maupun didalam ketiadaan hukum. Apabila ragu-ragu di dalam adanya hukum, maka yng asal tidak ada hukum”.
Ulama hanafiah menetapkan istishab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud mereka. Istishab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan perbedaannya.[20]
B.     Macam Macam Istishab
1.      Istishab al-bar’at  al-Ashliyyah
Menurut ibn al-Qayyim  seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya.
2.      Istishab yang ditunjukan oleh para syara atau akal seperti orang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah melunasinya.
3.      Istishab hukum seperti sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum itu terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkannya yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram.
4.      Istishab Washaf. Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang hilang.[21]

C.    Kedudukan Istishab sebagai Dalil Hukum Syara’
Pada umumnya ulama ushul fiqh menempatkan istishab sebagai dalil hukum, kecuali dalam beberapa bentuk istishab. Istishab dalil akal hanya diakui oleh ulama Mu’tazillah, dalam hal istishab sifat ulama hanafiah hanya memberlakukannya untuk mempertahankan hukum yang ada dan menolaknya untuk menetapkan hukum baru. Sementara sebagian ulama tidak memberlakukan istishab dalil umum. Ulama yang mengamalkan istishab mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadis Nabi dan menambahknya dengan sebuah kaidah fiqh.[22]

D.    Kehujjahan Istishab
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinnya. Ulama ushul berkata sesungguhnya istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa “ yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya.[23]
Dari keterangan singkat tentang istishab ini jelas bahwa:
1.      Istishab pada dzatnya bukan dalil fiqh dan bukan sumber istinbat akan tetapi menerapkan dalil yang telah ada dan menetapkan hukum terus berlaku sebelum ada yang merubahnya.
2.      Sesuatu yang ditetapkan dengan meyakinkan tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara yang meyakinkan.
3.      Istishab digunakan apabila tidak ada dalil oleh karena itu ulama-ulama yang menyedikitkan turuqul istinbat mereka meluaskan istishab ini seperti ulama ulama yang menolak qiyas.[24]


E.     Pendapat Ulama tentang Istishhab
Ulama Hanafiah menetapkan bahwa istishhab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksudkan oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa istishhab merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda samapai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.
Istishhab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya. Bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.
Istishhablah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dugaan kematiannya serta warisan harta bendanya perceraian pernikahannya. Tetapi itu bukanlah hujjah untuk menetapkan pewarisan dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishhab itu adalah hidup yang didasarkan pengakuan.[25]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar